Modernis.co Malang – Menurut kebiasaan, nama anak menjadi panggilan bagi ayahnya dengan memakai kata Abu (Bapak/Ayah), sehingga ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi menurut Yusuf Musa, ia disebut Abu Hanifah karena ia selalu berteman dengan “tinta” (dawat), dan kata Hanifah (حنيفة) menurut bahasa Arab berarti “tinta”. Abu Hanifah senantiasa membawa tinta guna menulis dan mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari teman-temanya.
Biografi Imam Hanafi
Imam Abu Hanifa nama asli beliau adalah Abu Hanifah An-nu’man bin Tsabit bin Zauti At-Taimi Al-Kufi yang biasa dikenal dengan Abu Hanifah. Abu Hanifah lahir di Kuffah tahun 80 H (699 M) dan meninggal di baghdad tahun 150 (767 M). Menurut riwayat, beliau dipanggil Abu Hanifah karena beliau mempunyai seorang putra bernama Hanifah.
Imam Abu Hanifah hidup dan tumbuh dalam keluarga pedagang, walaupun demikian dengan ketekunannya yang tinggi mempelajari ilmu agama mengantarkan beliau pada kedudukan yang tinggi di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seseorang di kalangan tabi‟it Tabi‟in (generasi setelah tabi’in).
Imam Hanafi adalah seorang Tabi’in di karenakan Imam Hanafi sempat meriwayatkan hadist dari para sahabat Nabi SAW. yang masih hidup, para sahabat tersebut adalah Anas bin Malik di Basrah, Abdullah bin Ali Auf di Kufah, Sahl bin al-Saidi di Madinah, dan al-Tufail Amir bin Malik di Mekkah.
Pendapat ini di dukung oleh Khudhari Beik, yang mengatakan Imam Abu Hanifah merupakan salah seorang Tabi’in. beliau cukup beruntung dapat menyaksikan masa pada saat beberapa sahabat masih hidup sampai usia muda beliau. Beberapa diantara mereka yang patut dicatat adalah Anas Ibn Malik (wafat th. 93 H), pembantu Nabi SAW Sahal Ibn Sa’ad (wafat th. 91 H), dan Abu Tubail Amin Warsilah(wafat th. 100 H), ketika Abu Hanifah berusia 20 tahun.
Perkembangan Mazhab Hanafiah
Ada empat sahabat Rasul yang sangat berkesan bagi Abu Hanifah dan juga mempengaruhi pokok-pokok pikiran atau jalan pikiran Abu Hanifah, adapun keempat sahabat itu ialah:
Abu Hanifah tertarik pada metode umar dalam menetapkan hukum dengan menggunakan “kemaslahatan ummah” kepentingan umum sebagai dasarnya.
- Abu Hanifah terkesan kepada Ali dalam memahami hakikat Islam dan pengamalan-pengamalannya secara sungguh-sungguh.
- Abu Hanifah berkesan dengan ketekunannya dalam mempelajari dan mendalami ajaran Islam.
- Abu Hanifah berkesan atas metodenya mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan dari Abdullah Ibnu Abbas inilah Abu Hanifah mendapat ilmu pengetahuan Al-Qur’an dan cara-cara menafsirkannya.
Dalam ilmu hadis, Abu Hanifah banyak menerima hadits dari ‘Atha bin Rabbah, Nafi Maula ibnu Umar, Qatadah, Hammad bin Abu Sulaiman yang digelutinya kurang lebih 18 tahun.
Sedangkan ilmu fiqh, beliau belajar dari Hammad, Ibrahim al-Nakha’i, Alqamah al-Khana’i dan al-Aswad bin Yazid dari Ibnu Mas’ud. Di Kufah ia belajar antara lain kepada : Sya’bi, Salamah bin Kuhail, Manarib bin Ditsar, Abu Ishak Saybi, Aun bin Abdullah, Amr bin Murrah, A’masy, Adib bin Tsabit Al-Anshari, Sama’ bin Harb dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Basrah, beliau belajar kepada Qatadah dan Syu’bah, dan ulama tabi’in termasyhur yang mempelajari hadis dari sahabat Nabi saw, yaitu Sufyan al-Tsauri. Dia juga pergi ke Mekah dan Madinah, dan kemudian menjadi murid dari Atha bin Abi Rabbah dan Abdullah bin Umar, putera dari khalifah Umar bin Khaththab. Juga pernah berguru kepada Zaid bin Ali, Ja’far al-Shaddiq.
Abdullah bin Hasan dan para tabi’in yang ahli di bidang fiqh. Ketika di Mekkah pernah berdiskusi dengan Imam Auza’i. Akhirnya Abu Hanifah mendapat predikat al-Imam-al-A’zam, karena keluasan ilmunya. Pemikiran-pemikirannya merambah kemana-kemana, dikaji orang yang menolaknya dan menerimanya.
Imam Abu Hanifah mempelajari ilmu fiqih di Kufah, dimana pada masa itu Kufah merupakan pusat pertemuan para ulama fiqih yang diantaranya cenderung bersifat rasional. Pada saat itu, diskusi-diskusi ilmu agama banyak menimbulkan perdebatan terutama berkaitan dengan kaidah, hadis, dan fiqh, sehingga jumlah jemaah pun terpecah kepada 3 golongan ilmu.
Madrasah Kufah terletak di Irak, Pendirinya adalah Abdullah bin Mas’ud (wafat 63 H/682 M). kepemimpinan madrasah Kufah kemudian beralih kepada Ibrahim Al-Nakhha’i, lalu Hammad bin Sulaiman Al-Asy’ari (wafat 120 H).
Hammad bin Sulaiman adalah seseorang Imam Besar (terkemuka) ketika itu. Beliau adalah murid dari Al-Qamah ibn Qais dan Al-Qadhi Syuriah, keduanya adalah tokoh dan pakar fiqih yang terkenal di Kufah dari golongan tabi’in. dari Hammad ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar fiqih dan hadits. Setelah itu, Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fiqih dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang ia peroleh di Kufah.
Sepeninggal Hammad, majelis madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa dalam masalah fiqih. Fatwa-fatwa itu merupakan dasar utama dari pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sekarang ini.
Abu Hanifah dikenal sebagai seorang mujtahid yang ahli ibadah, ahli zuhud serta sudah sampai kepada tingkatan ma’rifat kepada Allah SWT. Dalam bidang fiqih beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan beliau banyak belajar pada ulama-ulama Tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Abu Hanifah adalah seorang ulama yang sangat mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dalam mempergunakan ilmu mantiq dan menetapkan hukum syara’, dengan qiyas dan istihsan. Beliau juga terkenal sebagai seorang ulama yang berhati-hati dalam menerima sesuatu hadits.
Terdapat beberapa murid Abu Hanifah yang beperan dalam mengembangkan dan memperluas pandangan-pandangan (pendapat-pendapat) Abu Hanifah yaitu:
- Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
- Zufar bin Huzail bin Qais Al-Kufi (110-158 H)
- Muhammad bin Hasan Bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
- Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maula Al-Anshari (133-204 H)
Mereka inilah murid Abu Hanifah yang paling terkenal. Mereka merupakan ulama-ulama Hanafiah yang berusaha menyebarkan pendapat-pendapat serta mempertahankannya. Hal ini sesuai dengan uraian Khudlari Beyk sebagai berikut: Empat orang itulah yang menyebarkan mazhab orang-orang Irak (Mazhab Hanafi) dan orang-orang menerimanya dari mereka berempat.
Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi) telah membagi masalah-masalah fiqih. Bagi mazhab beliau ada tiga bagian atau tingkatan yakni :
Masailul-Ushul kitabnya dinamakan dhahirur-riwayah, kitab ini berisi masalah-masalah yang diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat-sahabatnya yang terkenal. Imam Muhammad bin Hasan menghimpun Masa-ilul-Ushul itu didalam enam kitab Dlahhirur Riwayah, yaitu :
- Kitab Al-Mabsuth.
- Kitab Al-Jami’ush-Shaghir
- Kitab Al-Jami’ul-Kabir
- Kitab As-Sairus-Shaghir
- Kitab As-Sairul-Kabir
- Kitab Al Ziyadat
Masa-ilun-Nawadir ialah yang diriwayatkan dari Imam Hanafi dan para sahabat beliau dalam kitab lain, yang selain dari kitab Dlahirur- Riwayah tersebut ialah seperti, Harunniyat, Jurjaniyyat dan Kaisanniyat oleh Imam Muhammad bin Hasan, dan kitab Al-Mujarad oleh Imam Hasan bin Ziyad.
Al-Fatwa Wal-Waqi’at ialah yang berisi masalah-masalah keagamaan yang dari istimbathnya para ulama mujtahid yang bermazhab Hanafi. Kitab Al-Fatwa Wal-Waqi’at yang pertama kali ialah kitab An- Nazawil yang dihimpun oleh Imam Abdul Laits As-Samarqandy (wafat pada tahun 375 H).
Oleh: Dany Arkan (Mahasiswa UMM)